Wednesday, January 29, 2014

Memutuskan Hubungan Kekeluargaan

Memutuskan Hubungan Kekeluargaan

Manusia takkan mencapai kehidupan tenteram tanpa pergaulan di dalam suatu kelompok tertentu yang mengikat dirinya dengan hak-hak dan berbagai kewajiban di dalam kelompok tersebut. Sebab, andaikata kehidupan seorang manusia itu tanpa mengelompokkan diri pada suatu kelompok tertentu, maka ia bagai kambing yang memisahkan diri dari “regunya”. Ia akan merana dan hidup sengsara. 
Yang dimaksud dengan kelompok di sini adalah hubungan dalam bentuk kekeluargaan. Keluarga adalah bagian dari masyarakat yang merupakan sumber kebahagiaan bagi masyarakat itu sendiri. Dengan melalui hubungan kekeluargaan, seseorang bisa memperoleh hak-haknya yang patut dikabulkan. Selain itu ia akan merasa tenteram dan aman di bawah naungannya. Karenanya, Islam mengajarkan agar para pemeluknya selalu berpegang pada tata hubungan kekeluargaan ini dan mendahulukan kepentingannya ketimbang kepentingan lainnya. Di lain pihak Islam juga mengancam orang-orang yang memutuskan hubungan ini, dan akan mendapatkan siksa yang pedih. Sebab, perbuatan tersebut merupakan tindakan dosa. 
Di dalam Islam, kekeluargaan mempunyai dua kata sinonim. Terkadang diistilahkan dengan arham (famili), dan terkadang dengan istilah dzawi’l-qurba (kerabat terdekat). 
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan pengertian dzawi’l-qurba ialah : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan”. (Q.S. 17 : 28). 
Di dalam ayat lain Allah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah : ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. (Q.S. 2 : 215). 
Al-Qur’an juga memberikan prioritas tinggi terhadap kerabat dekat untuk menerima perhatian (kebaikan) dan diutamakan kepentingannya lebih daripada lainnya. 
Di dalam Al-Qur’an dikatakan mengenai al-arham : “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lainnya dan (peliharalah) hubungan silaturahmi”. (Q.S. 4 : 1). 
Ayat tersebut memerintahkan kepada kita agar bertakwa kepada Allah atau melaksanakan segara perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Setelah itu Allah memerintahkan menyambung hubungan silaturahmi dan memenuhi hak-haknya, serta jangan memutuskan hubungan tersebut. 
Di dalam hal ini Allah berfirman yang melarang pemutusan hubungan silaturahmi : “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”. (Q.S. 47 : 22-23). 
Sehubungan dengan pengertian ayat tersebut, Rasulullah bersabda :
 الرّحم معلّقة بالعرش تقول: من وصلني وصله الله ومن قطعي قطعه الله رواه البخارى ومسلم 
“Silaturahmi digantungkan di atas ‘Arasy (Menyambung persaudaraan dengan orang-orang yang masih ada hubungan famili, baik yang muhrim ataupun bukan. Caranya ialah dengan memberikan pertolongan baik berupa material ataupun moril. Dan menurut pengertian secara globalnya ialah menolong orang yang masih ada hubungan famili menurut kemampuan yang ada.) , ia berkata : Barang siapa menyambungkan hubungannya, maka Allah akan menyambungkannya, dan barang siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskan hubungan silaturahmi dari ‘Arasy (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.)”. 
Rasulullah juga pernah bersabda :
 مامن ذنب اججدر ان يعجّل الله لصاحبه العقوبة فى الدّنيا مع ما يدخّرله فى الاخرة من: البغي وقطيعة الرّحم. رواه البخارى والترمذى وابن ماجه 
“Tak ada suatu perbuatan dosa apapun yang lebih berhak disegerakan hukumannya oleh Allah di dunia ini, di samping yang akan diterimanya di akherat, selain daripada perbuatan zina dan memutuskan hubungan kekeluargaan” (Hadits riwayat Bukhari, Turmudzi dan Ibnu Majjah.). 
Sabda Nabi yang lain :
 لايدخل الجنّة قاطع رحم (رواه مسلم) 
“Takkan bisa masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturahmi)” (Hadits riwayat Muslim.). 
Rasulullah juga menganjurkan kepada umatnya agar mempererat hubungan silaturahmmi :
 من كان يؤمن با لله واليوم الاخر فليكرم ضيفه، ومن كان يؤمن با لله واليو الاخر فليصل رحمه، ومن كان يؤمن با لله واليوم الاخر فليقل خيرا أوليصمت (رواه البخاري ومسلم) 
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka sambunglah hubungan silaturahmi. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). 
 Rasulullah juga menerangkan dampak positif bagi orang yang melakukan hubungan silaturahmi :
 من أحبّ ان يبسط له فى رزقه، وينسأله فى اثره فليصل رحمه (رواه البخارى ومسلم) 
“Barang siapa yang ingin agar rezkinya diperbanyak dan umurnya diperpanjang, maka sambunglah pertalian silaturahmi” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim). 
Hikmah yang terkandung di dalam pelaksanaan silaturahmi, atau kenapa Islam mementingkan masalah ini karena adanya faktor penting, yaitu faktor kejiwaan. Dari sini seorang akan mengharapkan kebaikan bagi kerabatnya sendiri. Dan apabila tidak demikian, maka perbuatannya termasuk berdosa. 
Seorang kaya, apabila tidak bersedia menyantuni kaum miskin yang bukan keluarganya, maka kemarahan si miskin tersebut tidak akan seberapa dibandingkan dengan apabila si miskin tersebut ternyata keluarganya sendiri. 
 Pada jaman dahulu ada seorang penyair yang mengatakan :
 وظلم ذوى القربى أشدّ مضاضة على النّفس من وقع الحسّام المهنّد. 
“Perbuatan aniaya dari kerabat sendiri lebih pedih dirasakan oleh hati daripada bacokan pedang yang tajam”. 
Perbuatan aniaya yang dilakukan kerabatnya sendiri akan menyebabkan berkobarnya rasa dengki dan iri hati. Sebab, biasanya kaum kerabat akan lebih mengetahui rahasia kerabatnya sendiri. Dan jika salah satu kerabat sudah terjangkit penyakit ini, maka dengan mudah akan membalas sakit hatinya kepada famili yang berbuat menyakitkan. 
Islam bertujuan membangun masyarakat yang penuh rasa kasih sayang dan saling menolong. Karenanya, Islam telah menentukan orang-orang yang paling berhak, yaitu kerabat. Di dalam hukum waris, Islam telah menentukan tinggalan mayit sebagai harta waris yang diberikan kepada kaum kerabat, sesuai dengan urutan dekat-tidaknya ahli waris dengan mayit. 
Allah berfirman : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S. 4 : 7). 
Dan sebagai bukti yang kuat bahwa Islam memperhatikan terhadap masalah kekeluargaan ialah, Islam mewajibkan kepada orang-orang yang mampu agar memberikan nafkah kepada orang-orang tidak mampu dari kerabatnya sendiri, baik anak, cucu; ayah atau kakek dan lain sebagainya. 
Imam Ahmad Ibnu Hanbal mengatakan bahwa wajib memberi nafkah kepada ahli waris yang miskin. Hal ini telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, yang pengertiannya mencakup wajib memberi nafkah kepada ayah, dan wajib pula bagi seorang membayar upah penyusuan dan pemeliharaan anak. 
Allah berfirman : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli waris pun berkewajiban demikian.

No comments:

Post a Comment